Lembaga Pengembangan Pesantren. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah
Pesantren dan Egalitarianisme Pendidikan

Pesantren dan Egalitarianisme Pendidikan
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha, Dipl., S.Pd. (Alumni Pesantren Muhammadiyah, Pemred PWMJateng.com, Aktifis JIMM & Mahasiswa MPBI UAD)
PWMJATENG.COM – Pesantren sering kali dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan tradisional yang menonjolkan kesederhanaan, kedisiplinan, dan kepatuhan terhadap guru. Namun, di balik nuansa klasik itu, pesantren sesungguhnya menyimpan potensi besar untuk menjadi motor kemajuan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai egaliter. Sikap egaliter, yang berarti kesetaraan dan penghargaan terhadap setiap individu tanpa membeda-bedakan status sosial, ekonomi, maupun latar belakang, merupakan fondasi penting dalam membangun pendidikan yang maju dan manusiawi.
Di era modern, ketika arus informasi begitu cepat dan dunia bergerak menuju tatanan yang semakin terbuka, pesantren dituntut untuk beradaptasi tanpa kehilangan ruh keislamannya. Prinsip egaliter sejatinya sudah mengakar kuat dalam ajaran Islam. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan dalam sabdanya, “Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak pula orang non-Arab atas orang Arab, kecuali dengan ketakwaan.” Nilai ini menunjukkan bahwa Islam menghapus segala bentuk diskriminasi dan menjunjung tinggi kesetaraan.
Dalam konteks pendidikan pesantren, nilai egaliter dapat dimaknai sebagai upaya menciptakan ruang belajar yang setara antara kiai, ustaz, dan santri. Hubungan yang egaliter tidak berarti menghapus adab dan penghormatan, melainkan menempatkan setiap pihak pada posisi manusia yang sama di hadapan ilmu dan Tuhan. Kiai tetap menjadi sumber ilmu dan teladan, sementara santri diberi ruang untuk berpikir kritis, berdialog, dan mengemukakan pendapat. Model pendidikan semacam ini justru akan melahirkan generasi santri yang cerdas, berani, dan terbuka terhadap perubahan.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, sebagian pesantren masih terjebak dalam pola hubungan yang terlalu hierarkis. Santri dianggap tidak boleh berbeda pendapat, atau bahkan tidak pantas mempertanyakan keputusan guru. Pola ini, bila tidak diubah, berpotensi menghambat tumbuhnya iklim ilmiah yang dinamis. Padahal, sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban Islam di masa lalu justru lahir dari semangat dialog dan keterbukaan terhadap perbedaan pandangan.
Prinsip egaliter dalam pendidikan pesantren juga berkaitan erat dengan akses yang merata terhadap ilmu dan fasilitas belajar. Pesantren maju adalah pesantren yang mampu membuka pintu bagi semua lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan kemampuan ekonomi. Semangat ini sejalan dengan misi sosial Islam untuk menegakkan keadilan dan mencerdaskan umat. Banyak pesantren kini mulai menerapkan sistem beasiswa, digitalisasi pembelajaran, hingga program pemberdayaan santri dari keluarga kurang mampu. Semua itu merupakan wujud nyata penerapan nilai egaliter dalam dunia pendidikan.
Selain itu, semangat kesetaraan perlu diterapkan tidak hanya di ruang belajar, tetapi juga dalam aspek manajemen pesantren. Keterlibatan santri, ustaz, hingga alumni dalam pengambilan keputusan dapat memperkuat rasa memiliki terhadap lembaga. Misalnya, dengan membentuk forum musyawarah santri atau dewan penggerak pesantren yang berfungsi memberi masukan strategis kepada pimpinan. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang inklusif, demokratis, dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Nilai egaliter juga penting dalam membangun relasi gender yang sehat di lingkungan pesantren. Pendidikan Islam yang maju harus memberi ruang yang setara bagi perempuan untuk belajar, berkiprah, dan berkontribusi. Banyak pesantren modern kini membuka kelas kepemimpinan perempuan, melatih keterampilan publik speaking, hingga membentuk komunitas santriwati yang aktif dalam dakwah sosial. Semua ini adalah langkah progresif yang mempertegas bahwa Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi setara dalam hal pencarian ilmu dan pengabdian.
Lebih jauh, pendidikan yang egaliter di pesantren akan melahirkan generasi yang memiliki empati sosial tinggi. Santri yang terbiasa dengan budaya kesetaraan akan lebih peka terhadap ketimpangan di masyarakat dan tergerak untuk menjadi agen perubahan. Mereka akan memahami bahwa ilmu bukanlah alat untuk menguasai, melainkan sarana untuk melayani. Prinsip inilah yang menjadi inti dari misi kemanusiaan Islam—membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan.
Untuk mewujudkan pesantren egaliter, diperlukan transformasi paradigma dalam pendidikan Islam. Kurikulum perlu mengintegrasikan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan keterbukaan. Santri perlu dilatih berpikir kritis dan terbiasa berdiskusi ilmiah tanpa rasa takut. Sementara para kiai dan pengasuh perlu berperan sebagai mentor yang membimbing dengan kasih, bukan sekadar otoritas yang memberi perintah.
Pesantren yang egaliter bukan berarti kehilangan ciri khasnya sebagai lembaga yang menanamkan adab dan spiritualitas. Justru, nilai-nilai tersebut menjadi lebih bermakna ketika diiringi dengan penghormatan terhadap kebebasan berpikir dan keadilan sosial. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh asal-usulnya, melainkan oleh ketakwaannya. Prinsip ini harus menjadi ruh pendidikan di pesantren. Dengan menegakkan nilai egaliter, pesantren tidak hanya melahirkan insan yang alim dan berakhlak, tetapi juga berjiwa sosial dan berpikiran maju.
Pada akhirnya, pesantren yang egaliter adalah pesantren yang berani menatap masa depan dengan visi kemanusiaan universal. Ia tidak hanya menjaga warisan keilmuan Islam, tetapi juga mempersiapkan generasi pembaharu yang siap memimpin perubahan. Dari sinilah pendidikan Islam akan terus hidup—berakar pada nilai-nilai luhur, namun tumbuh dengan wajah yang modern, terbuka, dan setara.
Editor : Ahmad